BAPERS.ID –
Rencana investasi peternakan babi di Kabupaten Jepara memicu polemik di tengah masyarakat, mengingat karakter religius dan kultural daerah tersebut yang mayoritas beragama Islam.
Sikap Pemerintah Daerah: Bupati Jepara, Witiarso Utomo (Bupati Wiwit), secara tegas menyatakan bahwa izin tidak akan dikeluarkan tanpa restu dari MUI, NU, Muhammadiyah, dan tokoh agama lainnya. Menurutnya, setiap kebijakan harus sejalan dengan nilai religius masyarakat dan fatwa ulama.
Sikap PCNU Jepara: Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara mengeluarkan Surat Keputusan Resmi Nomor 36/PC.01/A.II.01.03/1416/08/2025, hasil dari Bahtsul Masail, yang berisi tiga poin rekomendasi:
Menolak pendirian peternakan babi dan usaha lain yang bertentangan dengan kultur religius masyarakat Jepara.
Mendorong kebijakan yang membawa kesejahteraan dunia dan akhirat.
Menyerukan kreativitas pemerintah dalam menggali potensi ekonomi dari sumber halal dan legal.
Fakta Investasi: Investor mengusulkan pembangunan peternakan babi dengan skala besar (2–3 juta ekor per tahun), khusus untuk ekspor. Pemerintah kabupaten diimingi retribusi sebesar Rp300 ribu per ekor, ditambah program Corporate Social Responsibility (CSR).
Penegasan Bupati: Meskipun tawaran investasi dan potensi pendapatan cukup besar, Bupati Wiwit menyatakan bahwa nilai-nilai religius lebih utama daripada pertimbangan ekonomi.
<span;>Analisis Singkat (Hukum dan Kebijakan Publik
Aspek Hukum:
Tidak ada larangan eksplisit dalam hukum nasional terhadap peternakan babi, namun penerbitan izin usaha merupakan kewenangan pemerintah daerah, dan dapat mempertimbangkan faktor sosial, budaya, serta aspirasi masyarakat lokal sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Baca Juga:
DPRD Depok Gelar Rapat Paripurna Istimewa Dengarkan Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo
Kapolres Bogor Hadiri Upacara Peringatan ke-80 Kemerdekaan RI Tingkat Kabupaten Bogor
Aspek Kebijakan Publik:
Kebijakan berbasis kearifan lokal seperti ini mencerminkan prinsip “demokrasi partisipatif” dan “subsidiaritas”, yaitu mendekatkan keputusan ke tingkat pemerintahan terdekat dengan rakyat. Namun, tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara hak investor, ekonomi daerah, dan keragaman budaya dan agama.
Aspek Religius dan Sosial:
Penolakan PCNU didasarkan pada pertimbangan kultur mayoritas Muslim, yang menganggap babi sebagai hewan najis dalam Islam. Respons pemerintah menunjukkan kepekaan terhadap legitimasi moral dan otoritas keagamaan di masyarakat lokal.
Yuda
Penulis : Yuda
Editor : Rudy